Sabtu, 19 Agustus 2017

Kisah taubatnya Ka’ab bin Malik dalam perang Tabuk yang dikucilkan

Kisah Ka’ab bin Malik dalam perang Tabuk
Dari Abdullah bin Ka’ab bin Malik –dialah yang menuntun Ka’ab ketika telah buta dari sekian banyak anaknya- dia berkata, “Saya mendengar Ka’ab bin Malik (yakni ayahnya) bercerita mengenai kisahnya ketika tertinggal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perang Tabuk. Ka’ab berkata:

“Saya tidak pernah tertinggal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu peperangan pun kecuali perang Tabuk. Walaupun saya juga tertinggal dari perang Badr, tetapi ketahuilah sesungguhnya tidak ada seorang pun yang tertinggal dari peperangan tersebut yang dicela. Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin keluar pada perang Badr hanya untuk menghadang kafilah dagang Quraisy. Hingga akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mempertemukan antara kaum muslimin dan musuh mereka dengan tanpa perjanjian. Saya juga telah menyaksikan malam Aqabah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika kami berbai’at di atas Islam. Hal itu lebih saya senangi daripada saya ikut perang Badr walaupun perang Badr itu lebih banyak disebut-sebut orang.

Dulu, berita yang tersebar mengenai diri saya ketika tertinggal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada perang Tabuk bahwa saya tidaklah lebih kuat dan lebih lapang untuk berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat itu. Padahal demi Allah, saya belum pernah memiliki dua unta dan saya memilikinya pada perang tersebut.

Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hendak berperang kecuali selalu beliau samarkan dengan yang lain. Dalam perang ini beliau berperang pada musim panas dan menempuh perjalanan jauh melewati gurun yang gersang untuk menghadapi pasukan yang besar. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan kepada kaum muslimin tentang perkara ini agar mereka menyiapkan persiapan perang. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan kepada manusia maksud beliau. Kaum muslimin yang mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat banyak sehingga tidak seorangpun yang sanggup mencatatnya.

Maka orang-orang yang absen darinya sangatlah sedikit. Mereka yang absen menyangka bahwa keadaan mereka yang sebenarnya tidak akan diketahui oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama tidak turun wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menerangkan hal tersebut.” Kata Ka’ab.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan perang tersebut ketika musim kurma telah siap panen di mana ketika itu saya cenderung kepadanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama kaum muslimin telah bersiap-siap sedangkan saya merencanakan besok saja. Saya pulang dan masih belum menyiapkan persiapan perang sama sekali. “Saya mampu untuk berperang kapanpun saya berkehendak,” kataku di dalam hati.

Akan tetapi keadaan seperti itu terus berlarut hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin berangkat. Adapun saya, masih tetap belum menyiapkan sesuatu pun. Saya kembali pulang dan belum juga bersiap-siap. Keadaan tersebut terus berlarut sampai saya benar-benar tertinggal dari pasukan. Saya lalu bertekad untuk berangkat dan menyusul. Coba kalau dulu saya melakukannya?! Hingga akhirnya saya tetap tidak bisa mengikuti peperangan itu.

Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat saya sangat bersedih sekali di mana ketika itu saya keluar, saya tidak mendapatkan seorangpun dari kaum muslimin, kecuali beberapa orang yang terkenal dengan tuduhan kemunafikan atau orang-orang lemah yang diberi maaf oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk tidak ikut berperang.

Ketika itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak menyebut-nyebut nama saya sehingga beliau sampai di Tabuk. Sesampainya beliau di Tabuk ketika sedang duduk-duduk bersama kaum muslimin, baru Beliau bertanya, “Apa yang diperbuat Ka’ab bin Malik?”

“Yaa Rasulullah, dia terhalang oleh kain mantelnya dan hanya melihat-lihat mantel itu,” kata seorang dari Bani Salamah.
“Jelek benar apa yang kamu katakan, demi Allah wahai Rasulullah, kami tidak mengenal dirinya kecuali kebaikan,” balas Mu’adz bin Jabal kepada orang tersebut.

Rasulullah terdiam, dalam keadaan seperti itu tiba-tiba Beliau melihat seorang laki-laki yang tidak begitu jelas karena terpengaruh adanya fatamorgana.

“Itu adalah Abu Khaitsamah.” Kata Rasulullah.

Ternyata benar, dia Abu Khaitsamah Al Anshory yang pernah bershodaqoh dengan satu sho’ kurma (kurang lebih 2,5 kg) di mana ketika itu orang-orang munafik mencelanya.

Ka’ab bin Malik kemudian melanjutkan ceritanya.

Ketika sampai kabar pada saya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah pulang dari Tabuk maka datanglah kesedihanku dan hampir saja saya hendak berdusta kepada beliau untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada diri saya agar terlepas dari kemarahan beliau. Saya pun sudah berusaha untuk meminta pendapat seluruh keluarga saya dalam mencari alasan. Setelah ada berita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar telah datang, hilanglah segala keinginanku untuk berdusta karena saya yakin bahwasanya saya tidak akan selamat selama-lamanya. Maka saya bertekad untuk berkata dengan sejujurnya.

Keesokan harinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang. Sudah menjadi kebiasaan beliau bila datang dari safar selalu shalat dua rakaat di masjid kemudian duduk berbincang-bincang dengan para sahabat. Pada saat itu datanglah orang-orang yang tidak ikut berperang untuk mengajukan alasan-alasan mereka disertai dengan sumpah kepada beliau yang jumlahnya sekitar 80 orang lebih. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima alasan mereka sesuai dengan apa yang mereka nampakkan. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membai’at dan memintakan ampun untuk mereka serta menyerahkan apa yang ada di batin mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ketika saya menghadap dan mengucapkan salam kepada beliau, beliau tersenyum sinis kepada saya dan bersabda, “Kemari!!”

Saya pun datang mendekat dan duduk di hadapan beliau.

“Apa yang menyebabkan kamu tidak ikut perang ini, bukankah kamu telah menyiapkan kendaraan?” tanya beliau.

“Yaa Rasulullah, demi Allah seandainya saya duduk di hadapan penduduk bumi ini selain engkau pasti saya akan beralasan agar selamat dari kemarahannya karena saya orang yang pandai berdebat. Tetapi demi Allah, seandainya saya berdusta pada hari ini sehingga engkau ridha, pasti Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membuat engkau marah kepada saya. Namun seandainya saya jujur niscaya engkau akan marah pada saya, tetapi saya tetap mengharapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memberikan akibat yang baik. Demi Allah, saya tidak mempunyai udzur. Demi Allah tidaklah sebelumnya saya lebih kuat dan mampu dari pada ketika saya tidak ikut berperang bersama engkau,” jujur Ka’ab.

“Adapun yang ini telah berkata jujur, pergilah sampai Allah yang memutuskan tentang dirimu,” kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka akupun pergi. Sewaktu saya pergi, beberapa orang Bani Salamah mengikuti saya. Mereka berkata kepada saya, “Demi Allah, kami belum pernah mengetahui kami berbuat kesalahan sebelumnya, kenapa kamu tidak minta maaf saja kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana orang-orang yang tidak ikut berperang?! Sesungguhnya permintaan ampun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Allah untuk kamu akan menghapuskan dosamu?!”

Ka’ab bin Malik berkata, “Demi Allah mereka selalu mencela sikapku sehingga bermaksud untuk kembali kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan akan mendustakan diriku sendiri.”

“Apakah ada seorang yang menerima keputusan seperti saya ini?” tanyaku kepada orang-orang Bani Salamah tersebut.
“Ya, ada dua orang yang mengatakan seperti apa yang kamu katakan dan keduanya itu mendapatkan keputusan seperti keputusan yang diberikan kepadamu,” Jawab mereka.

“Siapakah kedua orang itu?” tegasnya.

“Murarah bin Rabiah Al ‘Amiry dan Hilal bin Umayah Al Waqify.”

Ka’ab bin Malik berkata, ”Setelah mereka menyebutkan kepada saya dua orang yang shalih ini di mana keduanya itu juga ikut perang Badr dan mempunyai keutamaan maka ketika itu saya merasa agak tenang.”

Ka’ab bin Malik kemudian melanjutkan ceritanya:

Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kaum muslimin untuk berbicara kepada salah seorang di antara kami bertiga yang tidak ikut perang Tabuk. Maka orang-orang pun menjauhi kami sehingga seolah-olah kami sangat terasing dan rasanya saya tidak betah lagi hidup di dunia ini. Kami bertiga tinggal dalam keadaan seperti itu selama 50 hari.

Adapun kedua sahabat saya, mereka tetap tinggal dan duduk di rumah dalam keadaan terus menangis. Adapun saya, saya yang termuda dan terkuat di antara kami bertiga. Saya tetap keluar dan ikut shalat bersama kaum muslimin. Saya tetap pergi ke pasar akan tetapi tidak ada seorang pun yang menyapa saya. Bahkan, suatu ketika saya pernah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengucapkan kepada  beliau ketika sedang duduk setelah shalat di majlisnya. Aku berkata dalam hati, “Apakah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menggerakkan kedua bibir beliau untuk menjawab salamku?!”

Lalu saya shalat di dekat beliau sambil sesekali melirik beliau. Apabila saya sedang shalat beliau memandang saya. Tapi apabila saya melirik beliau, beliau berpaling. Sampai ketika peristiwa yang demikian ini semakin menyedihkanku di mana kaum muslimin mengucilkanku sedemikian rupa, maka di suatu sore saya naik dinding rumah Abu Qatadah, saudara sepupuku yang amat sangat kusukai.

Lalu saya mengucapkan salam kepadanya, tapi demi Allah dia tetap tidak membalas salam saya. Lantas saya berkata padanya, “Wahai Abu Qatadah, demi Allah saya ingin mendengar jawabanmu! Apakah kamu mengetahui bahwa saya mencintai Allah dan RasulNya?!”

Tapi Abu Qatadah tidak mau menjawab juga. Kemudian saya meminta dia lagi dengan nama Allah untuk menjawab salam saya, tapi dia masih tidak mau menjawab salam saya juga. Kemudian saya duduk lagi dan saya bertanya lagi kepadanya tapi dia tetap saja diam. Akhirnya dia menjawab, “Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui.”

Maka mengucurlah air mataku. Kemudian saya naik dinding rumah Abu Qatadah dan beranjak pulang. Suatu hari, saya pernah berjalan-jalan di pasar. Tiba-tiba ada seorang petani dari Syam yang biasa menjual makanan di kota Madinah bertanya, “Siapakah yang mau menunjukkan Ka’ab bin Malik kepadaku?”

Maka orang-orang menunjuk diriku. Lalu orang itu pun datang kepadaku seraya memberikan sepucuk surat dari raja Ghassan. Waktu itu saya telah bisa menulis dan membaca. Kemudian saya baca surat itu dan ternyata isinya adalah:

“Selanjutnya ingin saya sampaikan bahwa saya telah mendengar kalau teman-temanmu telah mengucilkanmu. Ketahuilah Allah tidaklah menjadikan dirimu sebagai seorang yang hina dan orang yang pantas disia-siakan, maka bergabunglah dengan kami, kita akan saling membantu.”

“Inilah ujian lagi.” gumamku setelah membaca surat itu. Kemudian saya melemparkan surat tersebut ke dalam api.
Setelah sampai pada hari ke-40 di mana saya dikucilkan selama 50 hari dan belum juga turun wahyu,  maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang kepadaku di mana dia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhmu supaya kamu berpisah dengan istrimu.”

“Apakah saya harus menceraikannya atau apa yang harus saya perbuat???” tanyaku.

“Tidak, janganlah kamu menceraikannya tapi kamu jangan mendekatinya (menyetubuhinya),” jawabnya.

Bersamaan dengan itu Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengutus utusan untuk mendatangi kedua temanku untuk menyampaikan perintah yang sama. Kemudian saya berkata kepada istri saya, “Pulanglah kamu ke keluargamu dulu dan tinggallah di sana bersama-sama mereka sehingga Allah memberi keputusan tentang persoalanku ini.”

Adapun istri Hilal bin Umayyah, maka dia mendatangi Rasulullah.

“Wahai Rasulullah sesungguhnya Hilal bin Umayyah seorang yang sangat tua nan lemah dan tidak mempunyai seorang pelayan. Maka apakah engkau tidak keberatan bila mengizinkan saya melayaninya?” pintanya.

“Tidak apa-apa. Tetapi jangan sekali-kali ia mendekati (menyetubuhi) kamu.”

“Demi Allah! Hilal sudah tidak lagi mempunyai nafsu untuk berbuat seperti itu lagi dan demi Allah ia selalu menangis semenjak ia menerima keputusan itu sampai saat ini.” lanjut istri Hilal.

Kemudian sebagian keluargaku menganjurkan kepadaku agar aku juga minta izin kepada Rasulullah mengenai masalah istriku karena beliau telah mengizinkan istri Hilal bin Umayyah untuk tetap melayaninya.

“Saya tidak akan minta izin kepada Rasulullah mengenai istriku. Saya tidak tahu  bagaimana jawaban Rasulullah seandainya saya minta izin masalah istriku sedangkan saya masih muda,” tegas Ka’ab.

Kemudian saya tinggal sendirian selama sepuluh hari. Genaplah lima puluh hari saya semenjak orang-orang tidak boleh berbicara kepada kami. Tatkala saya selesai mengerjakan shalat subuh pada hari kelima puluh di tingkat atas rumahku, di mana kemudian saya duduk-duduk di atasnya dengan mengingat apa yang telah menimpaku. Saya telah merasa sangat sempit hidup di dunia ini karenanya. Tiba-tiba saya mendengar seorang yang naik gunung Sal’in dan berteriak dengan suaranya yang paling keras, “Wahai Ka’ab bin Malik bergembiralah kamu!”

Maka saya langsung bersujud karena tahu bahwasanya telah datang jalan keluar bagiku. Ternyata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengumumkan kepada manusia bahwa Allah telah menerima taubat kami ketika subuh. Maka orang-orang mulai menyampaikan kabar gembira kepadaku. Begitu pula ada juga yang pergi kepada kedua kawan saya untuk menyampaikan kabar gembira tersebut.

Ada seorang laki-laki yang datang kepada saya dengan naik kuda, ada yang jalan kaki, ada pula yang naik bukit. Maka terdengar suara orang tadi lebih cepat sampainya kepadaku daripada orang yang berkuda. Ketika sampai kepadaku orang yang menyampaikan kabar gembira tadi, maka segera kulepaskan kedua pakaianku untuk kupakaikan keduanya kepada orang itu dikarenakan kabar gembira tersebut. Padahal demi Allah, waktu itu saya tidak mempunyai pakaian selain itu.

Kemudian saya meminjam dua pakaian untuk saya pakai menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang menemui saya secara berkelompok-kelompok menyampaikan selamat atas diterimanya taubat saya.
“Selamat atas diterimanya taubatmu kepada Allah,” kata mereka.

Saya masuk masjid. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk di masjid dan di sekitar beliau terdapat banyak orang, Thalhah bin Ubaidillah bangkit berlari untuk menjabat tangan saya dan mengucapkan selamat kepadaku.
“Demi Allah tidak ada seorangpun dari sahabat Muhajirin yang bangkit selain Thalhah,” ujar Ka’ab.

Abdullah (salah satu periwayat hadits ini) berkata, “Sehingga Ka’ab tidak melupakan Thalhah karena kejadian tersebut.”

Ka’ab berkata: Ketika saya mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda dalam keadaan wajahnya nampak berseri-seri karena gembira, “Bergembiralah kamu pada hari yang paling baik semenjak kamu dilahirkan oleh ibumu!”

“Adakah dari engkau atau dari Allah wahai Rasulullah?” tanya Ka’ab.

“Bahkan dari Allah.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila sedang bergembira wajahnya bersinar seakan-akan wajahnya belahan dari bulan, kitapun telah mengenalnya. Kemudian saya duduk di hadapan beliau.

“Wahai Rasulullah, termasuk bagian dari taubatku maka saya memberikan semua harta kekayaanku sebagai shadaqah kepada Allah dan RasulNya,” jelas Ka’ab.

“Tahanlah sebagian hartamu karena yang demikian itu baik bagimu!” komentar Rasulullah.

“Kalau begitu saya hanya akan menahan rampasan perang yang saya dapat di Khaibar saja,” lanjutnya.

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah Ta’ala menyelamatkan saya karena saya jujur. Maka termasuk dari taubatku, saya tidak akan berbicara kecuali dengan jujur selama hidupku,” kataku kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demi Allah, saya tidak mengetahui seorang pun di antara kaum muslimin yang telah diuji oleh Allah karena kejujurannya seperti saya menceritakan keadaan saya dengan sejujur-jujurnya di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sampai hari ini, dan saya berharap kepada Allah Ta’ala semoga tetap memelihara diri saya selama saya hidup.

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan firmanNya:

لَّقَد تَّابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِن بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِّنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ, وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّىٰ إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَن لَّا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka. Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepadaNya saja. kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah: 117-119)

Ka’ab berkata, “Demi Allah, saya belum pernah merasakan nikmat Allah yang lebih besar selain dari petunjuk yang Allah berikan kepadaku berupa Islam. Begitu pula tidak ada yang lebih besar dari kejujuran saya di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga saya tidak berdusta kepada beliau. Seandainya saya berdusta niscaya saya akan dibinasakan sebagaimana binasanya orang-orang yang berdusta. Sesungguhnya Allah berfirman kepada orang-orang yang berdusta ketika disampaikan wahyu kepada mereka dengan mensifati mereka dengan pensifatan yang sangat buruk di mana Allah telah berfirman:

سَيَحْلِفُونَ بِاللَّهِ لَكُمْ إِذَا انقَلَبْتُمْ إِلَيْهِمْ لِتُعْرِضُوا عَنْهُمْ ۖ فَأَعْرِضُوا عَنْهُمْ ۖ إِنَّهُمْ رِجْسٌ ۖ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ, يَحْلِفُونَ لَكُمْ لِتَرْضَوْا عَنْهُمْ ۖ فَإِن تَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَرْضَىٰ عَنِ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ

Mereka (orang-orang munafik) akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka (tidak menuntut mereka). Maka berpalinglah mereka,  karena sesungguhnya mereka itu adalah kotor (najis )dan tempat mereka adalah neraka Jahannam sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka bersumpah padamu supaya mereka suka padamu, tetapi seandainya kamu suka pada mereka maka sesungguhnya Allah tidak suka terhadap orang-orang fasik.” (QS. At-Taubah: 95-96)

Ka’ab berkata, “Kami bertiga ditangguhkan taubatnya. Adapun mereka yang telah bersumpah dan berjanji, maka mereka langsung diterima oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dimintakan ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Adapun mengenai urusan kami bertiga maka ditangguhkan sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang memutuskannya. Maka oleh sebab itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan taubatnya.”

Yang dimaksud bukanlah kami tertinggal dari perang tetapi beliau menangguhkan taubat kami dan mendiamkan kami. Tidak seperti orang yang bersumpah di waktu menyampaikan alasan, kemudian beliau menerima alasan itu.

 _________________________________
Kisah ini dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhari (3470) Kitab Hadits Al-Anbiya Muslim (2766) Kitab Taubah.
Dari buku Akhirnya Allah pun Menerima Taubat Mereka penerbit Cahaya Ilmu Press, judul asli Syarh Riyadhus Shalihin Bab At-Taubah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah.

0 komentar